Minggu, 12 April 2015

Perlukah alasan untuk menolong?



Pada saat saya kuliah, saya pernah diberi kesempatan untuk study tour ke suatu gedung perkantoran. Setelah selesai, saya berencana untuk kembali ke kampus bersama seorang teman. Saat sedang menuruni lift, kami berpapasan dengan seorang bapak yang tidak kami kenal. Bapak itu cukup ramah dan mengajak kami berbicara, dan dia menanyakan kami dari universitas mana, sebab kami saat itu memang sedang memakai jas almamater. Singkat cerita dia mengetahui kalau kami sedang menuju ke kampus, dan dia berniat untuk menumpang mobil saya, dan turun di halte yang akan kami lewati. Tanpa pikir panjang, saya perbolehkan bapak itu untuk menumpang. Kami pun berangkat, dan sampai di halte, bapak itu pun turun dan berterima kasih. Sesaat setelah bapak itu turun, teman saya dengan cepat memeriksa kursi belakang kami, dia mencari-cari sesuatu, dan akhirnya tidak menemukan apa-apa, dan teman saya berkata, "Hati-hati dengan orang seperti itu, yang ditakutkan itu kalau dia meninggalkan barang-barang yang berbahaya."

Memang dewasa ini jaman sudah berubah, semua orang memiliki sifat yang serba berhati-hati. Prasangka buruk terhadap orang lain selalu muncul hampir dalam pikiran kita. Justru saat kita terlalu baik terhadap seseorang, justru kita dianggap bodoh, dimanfaatkan, lugu, ceroboh, mudah ditipu, dan sebagainya. Ada orang yang berpendapat bahwa tidak semua orang patut ditolong, kadang justru ada orang yang berpura-pura untuk ditolong. Namun bila kita berpikiran seperti itu, lalu bagaimana saat ada orang yang benar-benar butuh ditolong, namun tidak kita tolong. Saat kita ingin berbakti sosial dengan menyumbang ke panti asuhan, biasanya kita mengajak teman-teman kita untuk bergabung, tetapi pasti selalu ada yang bilang, "panti asuhan itu sudah kaya, banyak yang menyumbang." Kalimat ini tentu sudah biasa dan tidak jarang kita dengar.

Kisah Para Rasul 4:32
Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.

Dalam kehidupan jemaat mula-mula, semua memiliki pemikiran bahwa mereka harus berbagi. Itulah wujud kasih yang ditampilkan pada cara hidup berjemaat yang pertama. Apakah saat itu tidak ada pemikiran yang negatif menanggapi hal tersebut? Tentu ada, sebab yang namanya manusia pasti akan memiliki sifat duniawi yang akan selalu menentang cara hidup yang benar. Namun dengan hidup berkelompok dengan komunitas yang baik, sifat duniawi tentu akan semakin mudah ditekan. Itulah yang seharusnya kita lakukan dalam kehidupan kita di jaman sekarang.

Memang dibutuhkan hikmat agar kita mampu mengerti apa yang baik dan yang benar, dan ini berlaku juga saat kita memberikan pertolongan kepada orang lain, siapakah yang butuh dan layak kita tolong. Tetapi percayalah bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia (1 Kor 15:58). Dalam setiap melakukan kegiatan, landaskanlah semuanya itu untuk Tuhan.

"Walaupun kita salah langkah, Tuhan mampu memakai kesalahan kita
menjadi berkat yang tidak terduga sehingga tidak akan ada hal yang sia-sia"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar